Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Cahaya di Kanada: ‘Aisyah (2 dari 2 tulisan)

Ilustrasi. (Aaron Burden on Unsplash)

Sore itu aku dan suami membelah rintik hujan yang membasahi Vancouver dengan mobil yang meluncur ke arah stasiun kereta untuk menjemput Melissa.

Stasiun tersebut merupakan yang terdekat dari masjid di mana aku jumpai komunitas Muslim untuk pertama kali sejak pindah ke Vancouver, Kanada mengikuti suami. Istri dari imam masjid inilah yang mengenalkanku dengan orang-orang Indonesia di kota ini.

Suamiku aktif di masjid ini bersama dengan anggota komunitas Muslim lainnya yang mayoritas merupakan muallaf berkulit putih.

Aku adalah satu dari tiga Muslimah yang bukan muallaf, yang ikut beraktifitas di masjid.

Dengan kuasa Allah ﷻ tak lama lagi jumlah kami bertambah dengan hadirnya Melissa. Dia adalah gadis Filipina yang memutuskan mengucapkan syahadat setelah mempelajari Islam cukup lama.

Tak henti aku bersyukur pada Allah ﷻ telah mempertemukan diriku dan Melissa beberapa bulan yang lalu di kelas pengenalan bagi para imigran.

Waktu itu kerudungku ternyata menarik perhatian Melissa yang sudah mengulik Islam sejak dirinya masih di kampung halamannya.

Meskipun baru sedikit yang diketahuinya, percakapanku lewat telepon dengan Melissa selama ini menunjukkan rasa ingin tahunya yang demikian besar tentang Islam dan bagaimana ajaran yang dibawa oleh Nabi ﷺ ini menjawab segala tanda tanya tentang makna kehidupan dan kematian yang berkecamuk di kepalanya.

Aku hanya perantara karunia Allah ﷻ baginya. Itu pun sudah membuatku berbunga-bunga. Alhamdulillah…

Tak lama kemudian kami tiba di stasiun dan aku segera menuju pintu keluar penumpang.

“Hi, Melissa! I am here!”, seruku saat melihat dia keluar dari pintu statisun.

“Oh, Hello Dana! Thanks for picking me up,” balasnya dengan wajah berseri dan memelukku erat. Melissa senang karena aku menjemputnya di stasiun.

Belum lagi kami beranjak dari stasiun kereta airmataku sudah mengalir. “Oh, don’t mention it. Are you ready?”, ucapku sembari menghapus bulir-bulir airmata di pipi. Aku pastikan jika dirinya sudah siap berangkat ke masjid.

Melissa juga tampaknya tak mampu menahan emosi bahagianya. “Yes! I am ready and very excited!,” katanya sambil menghela nafas.

Aku katakan padanya bahwa suamiku menunggu di seberang jalan. “My husband is waiting for us over there, across the street,” ujarku sambil menunjuk mobil kami.

“Shall we go now then?”, ajak Melissa.

Aku gandeng tangannya. “Sure! Let’s go!”

Jarak antara stasiun kereta dan masjid hanya sepuluh menit dengan mobil.

Ketika kami tiba di sana orang-orang sudah berdatangan untuk mengikuti sholat maghrib.

Niat Melissa untuk mengucapkan dua kalimat syahadat telah aku sampaikan kepada istri imam masjid, sister Fathimah (nama samaran).

Maka saat aku dan Melissa masuk ke masjid di bagian perempuan ternyata sudah banyak sisters berkumpul. Aku juga lihat beragam hidangan tertata rapih di meja.

“Assalamu’alaykum,” sapaku kepada semua sisters di ruangan itu.

Sister Fathimah langsung menyambutku. “Wa’alaykumsalam, Dana!”, serunya.

Kami berpelukan. “How are you sister?”, kataku.

Aku lalu mengenalkan Melissa kepada sister Fathimah. “This is Melissa, and Melissa this is sister Fathimah, the sheikh’s wife,” ujarku.

Sister Fathimah lantas menjelaskan kepada Melissa tentang bagaimana pengucapan syahadat akan dilaksanakan.

Aku dengarkan dengan seksama. Ini adalah pengalaman pertamaku menyaksikan seseorang berikrar untuk menjadi seorang Muslim.

Beberapa saat kemudian adzan magrib dikumandangkan.

Sister Fathimah menyilahkan Melissa duduk di kursi yang berada di sudut ruangan, sementara kami melaksanakan sholat maghrib.

Selepas sholat berjamaah dan berdzikir sebentar, sister Fathimah memanggil Melissa untuk mengambil tempat di shaf terdepan dengan posisi menghadap kami yang masih duduk rapih di tempat kami melaksanakan sholat.

Suasana hening sejenak. Sister Fathimah mulai bicara, “Assalamu’alaykum sisters. Today we will be the witness for Melissa to take her shahadah.”

Kata sister Fathimah, hari ini kita semua yang berkumpul di ruangan itu akan menjadi saksi bagi Melissa yang akan mengucapkan syahadat.

Sister Fathimah melanjutkan bahwa tak lama lagi Melissa akan menjadi bagian dari keluarga Muslim. “Soon she will be our family.”

“Are you ready, Melissa?”, tanya sister Fathimah lembut.

“Yes,” jawab Melissa.

“Okay, repeat after me…”

Sister Fathimah mengucapkan dua kalimat syahadat dalam Bahasa Arab dan Inggris dengan perlahan agar Melissa dapat ikut mengucapkannya dengan baik dan benar.

“Asyhadu…An…Laailaaha…illa…Allah. Wa…Asyhadu…Anna…Muhammad…ArrasulAllah.”

“I bear witness…that there is no God…but Allah. And I bear witness…that Muhammad (peace be upon him)…is His servant and messenger.”

Aku dengar suara Melissa bergetar saat mengucapkan kata demi kata. Namun dia berhasil mengikuti sister Fathimah dengan baik, dan setiap kata yang diucapkannya benar.

“Congratulations! You are now a Muslim! Welcome Melissa to our community!”, kata sister Fatimah sambil mendekap erat Melissa.

Sister Fathimah memberi selamat kepada Melissa dan menegaskan dirinya telah menjadi seorang Muslim.

“Allahu Akbar!” seru seorang sister di shaf belakang.

Kami pun menyahut lafadz agung itu. “Allahu Akbar!”

Aku berurai airmata haru.

Sungguh Allah ﷻ Maha Berkehendak. Melissa “menemukan” jalan hidup yang indah bukan di negeri Muslim yang suasana Islamnya sangat kental. Dia justru memeluk Islam di Vancouver, sebuah kota di negeri barat dengan Muslim sebagai minoritas.

Kami pun dipersilahkan memberikan pelukan hangat kepada Melissa.

“Thank you, Dana for showing me the way!”, ucapnya saat kami berpelukan.

Aku menyanggahnya. “It’s not me Melissa. It’s the blessing from Allah,” kataku.

Setelah itu sister Fatimah mengajak Melissa ke meja di mana tersaji macam-macam hidangan yang istimewa dari para sisters yang secara sukarela menyiapkannya.

Ada spaghetti, kentang goreng, keripik jagung, biskuit dengan aneka topping tuna, strawberry, blueberry, nektarin, juga buah plum yang lidahku masih belum terbiasa merasakannya.

Menyajikan hidangan seperti itu dan menyantapnya bersama-sama adalah cara komunitas Muslim di sini menyambut dan merayakan lahirnya kembali seorang saudari seiman.

Para sister paham betul bagaimana rasanya menjadi muallaf yang berarti menjadi “orang asing” di dalam keluarga mereka sendiri. Makanya mereka berusaha menciptakan suasana hangat bagi para muallaf bahwa mereka memiliki keluarga baru yang mendukungnya setiap saat.

Malam yang diselimuti kebahagiaan itu kami akhiri dengan shalat isya berjamaah.

Sepulang dari masjid, aku dan suami mengantar Melissa ke toko Islam dekat rumah kami.

Aku pilihkan sepotong jubah cantik dengan kerudungnya sebagai hadiah dari kami bagi dirinya.

Dia sangat gembira dan mengenakannya dalam perjalanan pulang ke rumah.

Maasyaa Allah. Sungguh aku terharu dan kagum dengan semangatnya menyambut semua aturan Islam dengan hati yang lapang tanpa keraguan.

‘Aisyah

Waktu terus berlalu semenjak Melissa terlahir kembali sebagai seorang Muslimah di malam itu.

Di suatu malam lainnya aku berjumpa dirinya di masjid.

“Dana, from today call me ‘Aisyah,” katanya. Melissa ingin dipanggil ‘Aisyah.

Bahagianya diriku mendengar pintanya. “Maasyaa Allah. That’s a beautiful name,” kataku.

Hari berganti pekan, bulan berganti tahun. Jarak dan kesibukan membuat kami jarang bersua kembali meski hanya lewat telepon.

Kabar terakhir tentang Melissa, eh… ‘Aisyah yang ku dengar adalah dirinya sudah menikah dengan seorang pemuda berdarah Pakistan dan menetap di provinsi lain.

Ayah dan ibunya pun sudah ia bawa ke Kanada. Mereka menerima ‘Aisyah dengan identitas barunya sebagai seorang Muslimah.

I miss her and wish to see her again! Aku sangat merindukannya dan berharap berjumpa dengannya lagi.

Tulisan ini bersumber dari pengalaman pribadi Dana Farah yang kisahnya diunggah di akun Facebooknya pada 16 Mei 2019. Tulisan ini telah diubah dari versi aslinya tanpa mengubah makna.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *