Hidayah itu kuasa Allah ﷻ sekaligus rahasia-Nya.
Tak ada yang mampu menghalanginya, juga tak ada yang sanggup memaksanya untuk segera datang. Makanya, manusia hanya diperintahkan oleh Allah ﷻ untuk senantiasa mencarinya. Jika sudah “dapat”, selalu mohon kepada Allah ﷻ agar kita selalu ditunjukkannya, dan jangan lupakan mereka yang masih dalam pencarian karena every single act matters.
Sekecil apa pun momen yang kita alami bisa jadi gerbang bagi orang lain menemukan hidayah itu.
Dana Farah, seorang ibu tiga anak asal Indonesia tak pernah menyangka justru di Vancouver, Kanada yang jauh dari suasana Islam, Allah ﷻ menampakkan kuasa-Nya dalam mengubah jalan hidup seorang perempuan Nasrani.
Dia berkisah…
Suatu hari di musim semi tahun 2005, langit Vancouver biru tak berawan, namun matahari tak begitu menyengat. Angin berhembus lembut, menyegarkan hari yang cukup istimewa bagiku karena ini hari pertama aku ke “sekolah”.
Makanya, aku kenakan jubah terbaikku, dan bergegas keluar rumah bersama suami yang siap mengantar ke tempat di mana pemerintah menyelenggarakan program bagi para imigran baru untuk mengenal beragam sistem di Kanada, mulai dari ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan hingga masalah kepemilikan.
Kelas yang akan aku datangi hari itu difokuskan pada masalah pencarian kerja. Para peserta diajarkan bagaimana menulis curriculum vitae, menjawab pertanyaan saat wawancara, dan pemberian referensi kerja.
Mobil meluncur, dan dua puluh menit kemudian kami tiba di depan sebuah gedung yang menjulang.
Aku dan suami berpamitan. Sementara dia langsung menuju tempat kerjanya, aku segera masuk ke lobby yang ramai oleh manusia dari berbagai ras di seluruh dunia. India, Arab, China, Asia Tenggara, Eropa Timur, Mexico, juga Afrika berkumpul di situ.
Aku agak gugup, resah dan merasa aneh sendiri sebab dari sekian banyak orang di tempat itu hanya aku yang berkerudung. Namun, aku juga penasaran dengan apa yang akan aku dapatkan hari itu.
Aku masuk lift, dan segera menuju kelas yang sudah ditentukan.
Kelas sudah penuh begitu aku masuk, dan hanya ada dua perempuan, termasuk diriku.
Kelas dimulai tepat waktu. Seorang lelaki berlogat British (Inggris) sebagai mentor membuka kelas. Dia meminta setiap peserta untuk mengenalkan diri dengan menyebutkan nama dan negara asal.
Setelah berlangsung selama dua jam pertemuan hari itu usai.
Ketika mengemas barang-barang untuk bersiap pulang, aku dengar seseorang memanggil namaku.
“Hi, Dana! Nice to meet you. I like your headscarf and you look beautiful with it,” ucap seorang gadis teman sekelasku sambil berjalan menghampiriku. Senyum tersungging di wajahnya.
Kata dia, “Hi, Dana! Senang berkenalan denganmu. Saya suka kerudungmu. Kamu kelihatan cantik pakai itu.”
“Oh, hi Melissa! (nama samaran). Thank you,” jawabku sambil membalas senyumnya.
Sebenarnya agak terkejut aku dengan komentarnya karena seumur-umur belum pernah ada orang bilang seperti itu kepadaku. Berkerudung sudah jadi hal yang lumrah di Indonesia.
“Do you mind if I have your phone number? Since we’re the only ladies in the class, maybe we can be friend,” ujarnya.
Melissa meminta nomor teleponku dan berharap bisa berteman karena hanya kami berdua peserta perempuan di kelas tadi.
Aku tentu tak keberatan. “Sure!”, jawabku.
Melissa
Begitulah perjumpaanku dengan Melissa, imigran baru dari Filipina.
Dia datang ke Kanada dengan keahlian sebagai akuntan. Kala itu ia sedang dalam proses mencari kerja seperti diriku yang baru saja pindah ke negera ini mengikuti suami yang orang Kanada.
Enam pekan berlalu setelah pertemuan pertama di kelas itu. Selama itu pula aku dan Melissa sering berbincang melalui telepon, dan akhirnya aku tahu bahwa dia sedikit-sedikit sudah belajar Islam saat masih di Filipina.
Waktu melihatku mengenakan kerudung, dia merasa terusik, dan tertarik ingin tahu lebih jauh tentang Islam. Dia sendiri beragama Kristen.
Setiap kali kami ngobrol lewat telepon, Melissa selalu menanyakan topik yang sering dilontarkan oleh non Muslim.
Dia punya banyak pertanyaan. Seperti, kenapa Islam mengharuskan perempuan berpakaian tertutup? Bagaimana padangan Islam tentang Yesus? Kenapa Muslim harus berlapar-lapar di bulan Ramadhan?
Semua pertanyaannya sebenarnya selalu bermuara pada tiga hal, yakni dari mana manusia berasal? Ke mana setelah manusia tiada? Dan untuk apa manusia diciptakan di dunia?
Aku semakin yakin pertemuanku dengan Melissa adalah qodla Allah ﷻ yang akan mendatangkan banyak kebaikan bagi diriku, juga dirinya.
Pertanyaan-pertanyaan Melissa mendorongku banyak belajar, terutama bagaimana menjelaskan konsep Islam kepada non Muslim yang belum pernah aku hadapi sebelumnya.
Diskusi kami terus berlanjut walau tak pernah bersua, namun tekadku semakin kuat untuk menemani Melissa dalam proses mencari Tuhannya.
Hingga tiba suatu sore ketika telepon di rumahku berdering. Ternyata Melissa yang menelepon.
Aku dengar suaranya bergetar menahan tangis. “Dana, I think I am ready to say my shadadah,” ucapnya.
Yaa Allah, betapa terkejut, bahagia dan harunya aku saat itu. Melissa ingin mengucapkan dua kalimat syahadat.
Aku tak sanggup menahan air mata. Tak terasa pipiku sudah basah. Ringan rasa badanku, serasa melayang seperti sehelai bulu tertiup angin semilir.
Aku tak sanggup mengucap sepatah kata pun.
“Hello… hello…, Dana, are you there?”, ujar Melissa.
“Yes, I am still here,” jawabku terbata-bata.
“I am very happy to hear the news! This is one of the best days in my life,” ucapku tak bisa menahan rasa bahagiaku. Kabar dari Melissa ibarat hadiah terindah dan termegah dalam hidupku.
Segera aku tawarkan Melissa untuk pergi ke masjid malam itu juga. “Why don’t we go to the masjid tonight and you say your shahadah there?”, saranku antusias.
Dia pun tak kalah bersemangatnya, “If you think that’s better, then why not?!”
(bersambung)
Tulisan ini bersumber dari pengalaman pribadi Dana Farah yang diunggah di akun Facebooknya pada 30 April 2019. Tulisan ini telah mengalami perubahan dari versi aslinya tanpa mengubah makna.
Awesome