Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Mengejar sertifikat membaca Al-Qur’an sampai ke Jazirah

Ilustrasi. (Afiq Pilus on Unsplash)

Sekarang zamannya sertifikat. Semahir apa pun seseorang di bidang tertentu, jika belum mendapat sertifikat (baca: disertifikasi), maka keahliannya akan diragukan.

Jika insinyur, koki, bahkan tukang konstruksi saja harus disertifikasi, apalagi untuk ‘kemahiran’ membaca Al-Qur’an yang berisi kalimat Allah ﷻ.

Maka, suatu malam aku ditelepon oleh mantan murid Tajwid yang kuajar 1,5 tahun yang lalu. Dia minta aku mengajarinya lagi.

Namun aku terpaksa menolaknya karena dengan kesibukanku sekarang gak mungkin lagi aku menyelipkan jadwal baru. Sedih sih… tapi demi memaksimalkan semua aktivitas, ada beberapa amanah yang harus aku lepas.

Karena aku gak bisa, dia minta dicarikan guru buat dirinya dan beberapa temannya. Mereka telah membentuk kelompok belajar 5-6 orang untuk belajar membaca Al-Qur’an.

Aku coba carikan guru untuk mereka. Aku ingat teman lamaku yang pernah belajar ke Suriah. Aku hubungi dia, sekalian cari tahu bagaimana kabarnya sekarang.

“Assalamu’alaykum, sis,” ucapku.

“Wa’alaykum salam wa rahmatullahi wa barakatuh, sister, how are you? It’s been a long time,” jawab kawanku penuh keakraban. Kami memang sudah lama tak berjumpa.

“Alhamdulillah, I am fine, and you?,” tanyaku.

Setelah tanya kabar ini dan itu, aku sampaikan maksud utamaku.

Ternyata sekarang kawanku dari Suriah ini sudah menjadi tim pengajar di Habiba Institute. Maka dia menyarankan agar mantan muridku mengontak lembaga tersebut.

Sedikit cerita, ada dua lembaga belajar Islam dan Al-Qur’an yang cukup terkenal di London, yakni Tayyibun Institute dan Habiba Institute. Lembaga pertama, di mana aku pernah mengajar, bisa ditemukan di London Timur, London Barat dan London Selatan, sedangkan Habiba Institute terletak di London Timur.

Ada perbedaan antara kedua lembaga tersebut. Habiba Institute tidak memiliki gedung resmi, namun misi mereka adalah menyediakan guru-guru berkualitas yang datang dari rumah ke rumah, center ke center, dan seluruh kegiatannya diperuntukkan khusus bagi Muslimah.

Jadi, jika ada kelompok Muslimah yang ingin belajar Bahasa Arab, Tajwid atau mau jadi guru Tajwid, mereka dapat mengatur jadwal sendiri dan mengontak Habiba Institute untuk menyediakan guru.

Di akhir pembicaraan, dia bilang punya berita gembira, “I got a good news, sis!”

Aku jadi penasaran, “Oh Alhamdulillah, what is the good news, sis?”

Kata kawanku dia memperoleh ijazah dari Syekh Al-Kurdiy di Damaskus, Suriah. “I got my ijazah from Sheikh Al-Kurdiy in Damascus, Syria!”, jawabnya bersemangat.

“Maashaa Allah. Alhamdulillah sis. Come on, tell me how did you do it?”, aku makin penasaran ingin tahu bagaimana dia mendapatkan ijazah itu.

Ijazah membaca Al-Qur’an adalah sertifikat yang berisi chain alias mata rantai mulai dari orang yang mendapat ijazah hingga sampai pada Rasulullah ﷺ.

Sebenarnya ini adalah cara belajar Al-Qur’an yang dicontohkan Rasulullah ﷺ yang mengecek bacaan Al-Qur’an para sahabat dengan mendengarkannya langsung dari mereka. Sedangkan bacaan Nabi ﷺ didengarkan langsung oleh Malaikat jibril.

Jadi, ijazah dari seorang syekh merupakan tanda bahwa bacaan Al-Qur’an seseorang telah disertifikasi oleh orang yang punya kredibilitas dan kemampuan membaca seperti bacaannya Rasulullah ﷺ.

Dalam selembar kertas tersebut ada daftar nama guru yang dirunut hingga sampai pada Rasulullah ﷺ. Orang yang berijazah bisa memberikan ijazah kepada orang lain atau mengecek bacaan orang lain jika mereka ingin disertifikasi.

Anyway…

Kawanku bercerita bahwa dirinya telah membaca Al-Qur’an dari awal hingga halaman terakhir di depan sejumlah guru Muslimah asal Lebanon yang tinggal di London, yang memiliki ijazah. Salah satu dari guru tersebut mengajar di Habiba dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an kawanku.

Kawan dari Suriah ini melanjutkan, “She taught me Al Jazaariyah too. You know Al Jazaariyah, right?”. Kawanku menjelaskan bahwa guru ngajinya yang dari Lebanon mengajarkannya Al-Jazaariyah dan dia memastikan apakah aku paham apa itu.

Sambil ragu aku jawab, “Hmmm…kind of. It’s a poem about Tajwid, right?”. Al-Jazaariyah itu semacam puisi tentang Tajwid kan, kataku.

Ternyata benar. Kata kawanku, “Yes! Right, have you learnt it?”

Dia tanya apakah aku pernah mempelajarinya. Dengan sedih aku jawab, “Nope sis. In fact, I heard about Al-Jazaariyah when I start teaching in Institute.” Aku baru tahu tentang Al-Jazaariyah saat mengajar di Tayyibun.

Dia menghiburku dan menyemangatiku. “Don’t worry sis. You will be able to do it. It’s not difficult, you just have to memorize the poem in Arabic and explain it in front of the sheikh,” jelasnya. Jadi, puisi itu harus dihapalkan dan disetor kepada syeikh beserta penjelasannya.

“So, what did happen after you completed the recitation?” Aku ingin tahu apa yang harus dia lakukan setelah menyelesaikan membaca Al-Qur’an sampai selesai.

Dia jelaskan bahwa pertama dirinya harus membaca beberapa juz di awal Al-Qur’an dengan sempurna tanpa kesalahan. Jika berhasil maka dia dapat melanjutkan membaca keseluruhan Al-Qur’an. Gurunya merekomendasikan dirinya untuk bertemu syekh yang telah memberikan ijazah.

“So, I travel to Damascus for a week and there were 13 of us taking ijazah that day,” imbuhnya. Dengan mengantongi rekomendasi dari sang guru, maka berangkatlah kawanku ke Damaskus untuk mengejar ijazah.

Kata dia ada 13 orang saat itu yang mengikuti proses tersebut. Satu orang Indonesia, dua dari Bengal, dan lainnya dari Arab.

“Amazingly, there were only four of us passed and got the ijazah. The Indonesian, Bengali and only one Arab!”. Menakjubkan bukan, bahwa dari 13 orang yang diuji oleh syekh untuk membaca Al-Qur’an, hanya empat orang yang lulus, dan tiga diantaranya bukan berbahasa ibu Arab.

“Seriously sis?”, tanyaku takjub.

Bahkan kata Syekh Al-Kurdiy, bacaan empat orang yang lulus tersebut lebih baik dari pada yang berasal dari Arab. “Yeah, in fact the Sheikh Al-Kurdiy said that our recitations were much better than the Arabs! Alhamdulillah.”

“Hmmm….Yeah, people who speak Arabic are not necessarily can read the Quran with the Tajwid,” jawabku. Menurutku, mereka yang berbicara Bahasa Arab belum tentu mampu membaca Al-Qur’an dengan Tajwid.

Kawanku sepakat. “True sis,” jawabnya.

Dia lanjut bertanya kapan aku akan memperoleh ijazah. “I am sure you don’t need a long time to get it. I can help you if you want to sis,” ucapnya.

Aku tentu senang sekali dengan tawarannya. “Oh, that will be great sis… Inshaa Allah, I will let you know and we keep in touch okay?” ujarku berbunga bunga.

Semangat

Pembicaraan dengan kawan lamaku itu meniupkan bara semangatku untuk melakukan perjalanan ke negeri Timur Tengah dan belajar segala ilmu Islam dari sana.

Aku juga pernah berjumpa seorang teman asal India. Dia baru saja pulang dari San’a, Yaman. Dia juga pernah travelling ke Palestina, Indonesia dan juga Suriah. Maashaa Allah, dalam waktu 7-8 bulan dia bisa bercakap dalam Bahasa Arab.

Sebulan yang lalu ada kabar dari seorang teman di London asal Suriah. Kabarnya dua anak lelakinya kini bicara Bahasa Arab. Jadi mereka master English and Arabic.

Sementara seorang kawan suamiku asal Rusia juga menghabiskan satu tahun belajar Tajwid dan Bahasa Arab di Alexandria, Mesir.

Belajar ke Timur Tengah kini menjadi tren di Inggris. Bisa dikatakan kalau guru ngaji dan belum pernah belajar di Timur Tengah, beberapa orang “sedikit” meragukan kemampuan kita.

Adapun ijazah membaca Al-Qur’an bagi pengajar Tajwid memang bukan syarat tapi menjadi preference (keutamaan) di mana pun kita mengajar.

Tulisan ini bersumber dari cerita Yumna Umm Nusaybah di London, Inggris, yang diunggah di blog pribadinya: ameeratuljannah.blogspot.com pada 20 Juli 2008.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *