“Ikhlas kok…”
Tapi kenapa masih mulut masih menggerutu dan hati masih bimbang?
“Iya, aku ikhlas hanya untuk Allah ﷻ.”
Namun, kadang masih ada secuil harapan dapat ucapan terima kasih dan balasan kebaikan dari manusia.
Ach… sungguh ikhlas itu ringan, tapi juga sekaligus berat ketika hendak dibuktikan.
Ini cerita Yumna Umm Nusaybah dari London yang belajar ikhlas dari tetangga yang tak pernah menyapanya hingga Allah ﷻ menunjukkannya pada sebuah peristiwa.
Sepekan yang lalu.
Pukul 8.00 pagi terdengar ketukan di pintu depan. Aku intip lewat jendela. Ternyata tukang yang sedang merenovasi rumah tetangga.
Tetanggaku ini adalah seorang wanita lansia asli Ghana. Beliau meninggal saat pulang kampung ke Ghana. Rencananya, saat beliau balik ke London, rumah yang sedang di renovasi siap dihuni. Ternyata, Allah ﷻ berkehendak lain. Beliau meninggal mendadak sepekan sebelum kembali ke Inggris.
Beliau memang sudah keluar masuk RS karena usia yang lanjut. Tiap tahun beliau pulang ke Ghana. Di sana ada rumah besar yang telah dibangun dari hasil kerjanya menjadi health visitor (petugas kesehatan) di Inggris.
Beliau tidak punya anak kandung, hanya God Daughters (anak baptis). Mereka hanya berkunjung satu atau dua kali dalam sebulan. Hari-hari wanita lansia ini dihabiskan dengan menonton TV, baca koran dan online shopping. Beginilah kebanyakan para lansia di Inggris melewatkan waktunya.
Maret tahun lalu, kabar aku dapat dari anak angkatnya.
Jadi para tukang ini dipekerjakan oleh anak angkatnya. Sering kali para tukang meminta kami membelikan izin parkir. Izin ini harus dibeli oleh warga yang tinggal di area dengan zona yang sama. Harga satu tiket 1.20 pound alias 21.000 rupiah per enam jam.
Semasa tetanggaku yang lansia ini masih hidup, beliau sering meminta bantuan untuk pasang kabel-kabel internet, pesan tiket parkir khusus (disabled badge) dan hal-hal teknis lainnya.
Kami cukup dekat meski berbeda keyakinan. Beliau sangat paham tentang tradisi Muslim, termasuk apa itu makanan halal, Ramadhan, perayaan Idul Fitri, dan lain sebagainya. Sering beliau membelikan hadiah dan bingkisan untuk anak-anakku.
Demi menghormati mendiang tetangga dan mengais-ngais pahala, aku setujui permintaan si tukang.
Tetangga baru
Pagi itu si tukang meminta tiket parkir sementara dan nanti koleganya yang akan menggantinya.
Tanpa pikir panjang, aku iya-kan. Kebetulan ada tiket parkir seharian untuk semua zona (aku dapat gratis dari council).
Tiket tersebut hanya 10 buah per tahun. Aku usahakan untuk irit dan dieman-eman. Tapi aku relakan untuk dipakai Pak Tukang pagi itu. Si tukang senang dapat tiket seharian dan gratis pula. Setelah dia berterimakasih, aku tutup pintu.
Selang beberapa detik, ada ketukan lagi. Aku pikir orang yang sama. Tanpa aku intip lewat jendela, aku buka pintu.
Ternyata yang berdiri di depanku adalah tetangga baru depan rumah. Seorang laki-laki keturunan Afrika bertanya apakah boleh dia meminta satu tiket parkir juga.
Dia tetangga yang baru pindah beberapa bulan dan tidak pernah mengenalkan dirinya saat menjadi tetangga baru. Dia juga tak pernah mengucapkan selamat pagi saat kebetulan bertemu. Ditambah lagi dia suka parkir asal-asalan di depan rumah.
Dia katakan bahwa karena dia baru pindah, pihak council belum memberi izin parkir sampai besok, sedangkan izin sementaranya sudah habis. Dia belum pesan dan beli lagi.
Bisa dibayangkan dong reaksiku!
Respon pertama,”Ih...enak aja! Emang aku distributor kartu parkir?! Pesan sendiri gih sana!”
Untung kejengkelan itu cuma dalam hati aja, yang keluar, “Yes sure, let me get one for you.”
“Tunggu ya, aku ambilkan satu buat kamu”.
Lalu aku jelaskan, “You can get this kind of permit for free. Ten permits every year and you can use it for all zone. Just visit the website and you can get it from there.”
Dia berterimakasih, dan aku langsung tutup pintu. Niat untuk irit kartu parkir nggak kesampain. Itu pikiranku.
Sampai sore harinya.
Ada ketukan pintu. Tetangga yang sama. Dia menyampaikan bahwa dia melihat pintu bagasi belakang mobilku terbuka lebar!
Aku ingat terakhir pakai mobil, satu setengah jam yang lalu. Itu artinya, selama itu pula mobil yang aku parkir di pinggir jalan, pintu bagasinya terbuka lebar. Kalau ada pencuri, mobilku jadi sasaran empuk!
Qadha Allah ﷻ, mobil itu masih menjadi rezeki kami. Namun, jika tidak ada warning dari tetangga baruku, maka mobilku pasti semalaman dalam kondisi seperti itu.
Serasa Allah ﷻ menamparku dengan kejadian ini.
Kebaikan yang kita tanam akan kembali kepada kita. Entah itu di dunia atau di akhirat. Dalam hati aku beristighfar berkali-kali dan berterimakasih sekali kepada tetangga baruku yang repot-repot memberi tahu.
Terkadang kebaikan itu harus dilakukan kepada orang lain tanpa pikir panjang karena Allah ﷻ tahu kita juga akan membutuhkan kebaikan mereka.
Memang benar, membantu harus tanpa pamrih. Menolong harus tanpa berharap timbal balik. Kalau ada harapan untuk dikembalikan maka artinya kita berbuat baik karena asas manfaat. Kebaikan yang benar-benar karena Allah ﷻ adalah kebaikan tanpa pamrih dan imbalan alias ikhlas.
Kalau ada orang baik kepada kita, kita balas dengan kebaikan maka itu sudah biasa. Namun jika kita baik tanpa pamrih – berarti tanpa minta sesuatu apa pun dari siapa pun -itu luar biasa. Apalagi jika kita berbuat baik kepada orang yang telah menyakiti kita, maka itu adalah tanda kita benar-benar ingin pahala dari Allah ﷻ saja.
Kita sering mendengar orang berkata dengan mudahnya, “Kalau beramal itu harus ikhlas, agar amalnya diterima oleh Allah ﷻ.”
Padahal orang yang mengatakan demikian belum tentu masuk ke dalam kategori orang-orang yang ikhlas.
Memang betul, kata ikhlas mudah diucapkan, namun susah dipraktikkan.
Apa sebetulnya hakikat dari ikhlas itu sendiri? Lalu apa ciri orang ikhlas dalam beramal?
Dalam kitab Mu’jam Al-Wasith, kata ikhlas berasal dari kata خلص يخلص خلوصا yang berarti jernih atau murni.
Sedangkan menurut Al-Jurjani dalam Al-Ta’rifat menjelaskan bahwa ikhlas adalah tidak mencari pujian dalam beramal.
Imam Qusyairi dalam kitab Arrisalah Al-Qusyairiyah mengutip penjelasan gurunya. Ia menyatakan bahwa ikhlas adalah mengesakan Allah ﷻ dalam ketaatan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Perilaku ini harus tampak tanpa ada embel-embel kepentingan lain yang berkaitan dengan manusia, atau ingin mencari pujian dan popularitas.
Menurut Dzun Nun Al-Misri, ada tiga ciri orang ikhlas dalam beramal.
Pertama, ketika dipuji atau dihina, sikapnya sama saja, tak ada perbedaan dalam perilakunya.
Kedua, melupakan amalan yang telah ia lakukan. Ia tak mau mengingatnya lagi. Seperti ketika telah memberi shadaqah atau bantuan kepada orang lain, maka ia tak mengungkitnya lagi agar amalnya tak sirna gara-gara al-mannu (menyebut kembali amalan yang telah dikerjakan atau diberikan).
Ketiga, melupakan pahala amal akhirat, sehingga ia berusaha beramal sebanyak-banyaknya karena selalu merasa kurang, serta tak pernah membanggakan amalnya.
Menurut Imam Fudhail bin Iyadh, meninggalkan amalan karena manusia maka itu riya’ (pamer) namanya, sedangkan beramal dengan tujuan agar dipuji manusia, termasuk kategori syirik.
Adapun ikhlas yaitu ketika Allah ﷻ menyelamatkanmu dari keduanya.
Hudzaifah Al-Mura’syi menyatakan bahwa ketika perilaku dan perbuatan seorang hamba sudah sama lahir dan batinnya, baik di kala sendirian atau dalam suasana keramaian, maka inilah ikhlas.
Aku suka banget sama quote ini:
‘Whoever sees sincerity in his sincerity, his sincerity is itself in need of sincerity. The destruction of every sincere person lies in his sincerity, (he is destroyed) to the extent that he sees sincerity in himself. When he abandons seeing sincerity in himself he will be sincere and purified.’
Artinya, Siapa saja yang bisa melihat keikhlasan ketika dia berbuat ikhlas maka dia perlu keikhlasan dalam ikhlasnya (mempertanyakan keikhlasannya). Kerusakan dari setiap orang yang ikhlas ada pada keikhlasan (yang mereka rasakan). Saat dia tidak lagi melihat/merasa bahwa dia ikhlas maka saat itulah sebenarnya dia benar-benar ikhlas dan tersucikan (dari beramal selain karena Allah).”
Tulisan ini bersumber dari karya Yumna Umm Nusaybah yang diunggah di akun Facebooknya pada 15 Juni 2019 dengan perubahan tanpa mengubah makna.