Jangan Tampilkan Lagi Ya, Saya Mau!

Nilai manusia dari pekerjaan atau penampilan?

Ilustrasi. (JESHOOTS.COM on Unsplash)

Adalah mudah menilai siapa seseorang dengan melihat jenis pekerjaan dan/atau penampilan fisiknya, karena dua hal ini langsung tampak di mata.

Namun, apakah pekerjaan dan penampilan fisik punya hubungan langsung dengan “nilai” seseorang, termasuk “siapa sebenarnya” dia, dan “kualitas” dirinya?

Yumna Umm Nusaybah, seorang Indonesia yang sudah lebih dari satu dekade menetap di London, Inggris punya pengalaman menarik tentang menilai seseorang dari pekerjaan dan penampilan fisik.

Nilai manusia dari pekerjaan atau penampilan?
Ilustrasi. (Ed Maughan on Unsplash)

Tinggal di London yang merupakan multicultural city alias kota campur sari di mana sebagian besar penduduknya adalah warga imigran benar-benar membuatku harus mengatur ulang cara pandang dan cara berpikir.

Sering kali kita menghakimi seseorang dan memberikan penghargaan atau sikap respect terhadap seseorang berdasarkan profesi mereka.

Kalau di Indonesia ketika melihat seseorang yang bekerja sebagai satpam, tukang sapu, tukang bersihin dapur rumah sakit, maka kita akan menyimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang kurang beruntung dalam hal pendidikan. Karenanya, mereka harus menjalankan profesi yang bergaji kecil seperti itu.

Pada kenyataannya memang banyak yang demikian, namun semestinya kita tidak boleh berpikiran semacam itu. Belum tentu orang yang melakukan pekerjaan serabutan dan bukan profesi yang menuntut jenjang sekolah memiliki kemampuan “begitu-begitu saja”.

Ini yang aku buktikan.

Sebut saja namanya Lily. Dia asli dari Sierra Leone, sebuah negara di Afrika Barat. Dia wanita cantik berkulit hitam, seorang domestic worker di bangsal tempat aku bekerja.

Kerjaannya setiap hari adalah membersihkan area bangsal, menyiapkan makanan untuk pasien, membuang sampah-sampah medis, mengepel lantai dapur dan seabrek pekerjaan “lapisan bawah” lainnya.

Dia seorang Muslimah meski tidak memakai kerudung dan selalu berpuasa saat Ramadhan.

Orangnya baik hati, sangat ceria dan ramah.

Suatu hari aku mendapat kesempatan untuk berbicara panjang lebar dengan dia.

Dia bercerita tentang betapa bahagianya hari itu.

Apa pasal? Karena dia baru mendapat telepon dari Universitas Oxford bahwa anak laki-lakinya mendapat beasiswa untuk kuliah di Jurusan Teknik Aeronautika.

Artinya, Lily tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun untuk pendidikan tinggi anak lelakinya.

Usut punya usut ternyata dia juga punya anak perempuan yang juga sudah selesai kuliah dan bekerja menjadi seorang profesional.

Hampir sepuluh tahun Lily bekerja menjadi domestic worker dan tiap hari dia jalani dengan penuh senyum dan bahagia.

Kadang kala dia mengeluh sakit punggung karena terlalu banyak menggotong dan mengangkat benda berat dikarenakan tuntutan kerja, tapi apa boleh buat, semua demi menghidupi keluarganya.

Saat aku tanya apa rahasianya sehingga anak-anaknya berhasil? Lily menjawabnya dengan penuh keyakinan, I invest my time for them.

“Aku menginvestasikan waktuku untuk mereka,” katanya.

Dia cerita bagaimana dia lari pontang-panting untuk mencarikan buku-buku pelajaran anak-anaknya dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya.

Dia tidak mampu membeli semua buku itu, namun dia selalu mengupayakannya semaksimal mungkin, entah dengan membeli second hand atau pinjam ke perpustakaan atau beli dari Sierra Leone yang notabene harga buku lebih murah.

Tiap malam seusai makan malam, dia akan habiskan waktu dengan menemani anak-anaknya mengerjakan PR.

Ketika si anak belajar, dia juga belajar sembari membaca koran tentang berita-berita politik.

Hal lain yang aku kagumi dari Lily adalah kesadaran politik dia.

Meski dia hanya bekerja di dapur, dia orang pertama yang selalu bertanya kepadaku tentang pendapatku berkaitan peristiwa politik dunia

Maasyaa Allah!

Mulai dari kasusnya Muammar Ghaddafi, Obama, dan lain-lain.

Belum pernah aku lihat orang seantusias dia  ketika berbicara masalah politik.

Aku lantas berpikir untuk apa dia harus membaca berita-berita seperti itu?

Aku juga sempat tanyakan pada Lily dan jawaban dia sungguh memukau.

“If you don’t know what’s going on around the world then you won’t revolve with the world,” jawabnya.

Artinya, “Kalau kamu ga tahu apa yang terjadi di dunia, kamu akan tertinggal”.

Dia juga bilang, “membaca membuka cakawala, membuat kita pandai dan mengerti segala hal!”

Jujur, aku terkaget-kaget mendengar jawaban itu. Sangat dalam dan bermakna.

Aku tanya kembali apakah dia dulu kuliah.

“Yes and I used to teach in High school back home!”, ujar Lily.

Aha! Ketemu dech jawaban dari rasa penasaranku. Ternyata meski seorang domestic worker yang kerjaannya ngepel, nyapu dan nyuci piring, dia adalah orang yang punya pendidikan tinggi dan pernah mengajar di sekolah menengah atas.

Don’t judge the book by its cover!

Sungguh pengalaman berharga bagiku.

Ditulis kembali oleh Share Salaam dari karya Yumna Umm Nusaybah yang diunggah di blog pribadinya: ameeratuljannah.blogspot.com pada 5 Desember, 2011.

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *