Kalau di Amerika Serikat ‘melting pot’ (pertemuan multi budaya) ada di kota New York, maka di Inggris ada London.
Setidaknya Yumna Umm Nusaybah, seorang ibu Indonesia dari tiga anak yang sudah 15 tahun tinggal di kota ini merasakan benar budaya seluruh dunia yang sangat beragam berbaur di sini. Dari pengalaman pribadinya, Yumna yang bersuamikan lelaki beradarah Inggris-Afrika, melihat berbagai manusia dengan latar belakang yang berbeda, dan dari mereka dia mendapatkan kejutan-kejutan sebagai pelajaran hidup.
Ini adalah salah satu kisahnya.
“Aku pernah menulis tentang kisah bagaimana kita seharusnya menghindari kebiasaan menilai orang lain dari pekerjaannya.
Di tempatku bekerja, setiap akhir pekan (Sabtu dan Ahad) ada seorang perempuan muda Muslimah berkerudung, kira-kira berusia 30-an tahun. Pekerjaannya mengambil sampah-sampah medis, membersihkan meja-meja pasien, mengantar air dan juga menyiapkan makan malam dan makan siang bagi para pasien.
Bisa dibilang pekerjaannya buanyak, berat dan butuh fisik yang kuat. Dia harus angkat ini, angkat itu, dorong sana, dorong sini dan macam-macam kerja fisik lainnya. Makanya, di setiap akhir shift dia tampak letih sekali. Aku selalu sempatkan mengucapkan salam padanya, bertanya kabar dia dan ngobrol sedikit tantang ini-itu.
Suatu hari obrolanku bermula karena aku lihat dia sedang duduk di pojok dapur rumah sakit sambil membaca buku setebal bantal.
Aku tanya padanya buku apa yang dia baca. ‘It’s a law book,’ jawabnya.
Makin penasaran aku tanya lagi, kenapa kok baca buku tentang hukum?
Dia jawab, ‘I am in the second year of studying law in university.’ Ternyata dia adalah mahasiswa yang belajar hukum di universitas, dan kini berada di tahun ke dua.
Maasyaa Allah! Sontak kaget aku mendengarnya.
Hebat! Kesan pertama yang muncul dariku.
Selain dia seorang ibu dari satu anak, dia sudah berusia 30-an, dia kerja banting tulang setiap Sabtu dan Ahad, tapi SubhanAllah di hari-hari lain dia ‘full time student’ di Fakultas Hukum.
Mimpi dia adalah menjadi ‘lawyer’ atau pengacara. Mungkin itu karena pengaruh dari keluarganya yang berpendidikan. Ayah dan ibunya adalah praktisi hukum di Bangladesh.
Semangat menjadi pengacara dia warisi dari kedua orangtuanya.
Dia bilang ada kalanya anaknya juga mengeluh kenapa dia selalu sibuk. Jika tidak sedang bekerja, dia harus belajar. Namun semua harus dia lakukan demi masa depan seluruh keluarga.
Tak ada yang menyangka dia yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih di rumah sakit ternyata seorang calon pengacara.
Kolegaku ini tidak pernah berkoar-koar dan menuntut untuk dihormati, namun justru kerendahan hatinya membuat aku semakin ‘respect’ padanya.
Orang yang berilmu dan suka pamer, serta merasa penting karena ilmuny adalah hal biasa, namun orang yang semakin rendah hati karena semakin banyak dan semakin dalam ilmunya adalah hal yang luar biasa.
Islam mengajarkan kita untuk selalu rendah hati apa pun posisi kita dan pada saat yang sama tidak ‘judgemental’ atau mudah menghakimi orang lain yang kelihatannya ‘kurang’ atau ‘lebih rendah’ dari kita.
Percaya atau nggak, mantan Gubernur London, Ken Livingstone (menjabat 2000-2008) suka naik kereta bawah tanah bareng rakyatnya, sedangkan mantan Perdana Menteri Inggris, David Cameron (menjabat 2010-2016) suka naik sepeda kalau mau ke House of Parliement. Sementara itu, mantan gubernur London lainnya, Boris Johnson (menjabat 2008-2016) sering naik sepeda ke mana-mana.
Semoga kita termasuk orang yang selalu rendah hati dengan segala yang telah Allah ﷻ anugerahkan untuk kita. Aamiin.”
Ditulis kembali oleh Share Salam dari karya Yumna Umm Nusaybah yang diunggah di blog pribadinya: ameeratuljannah.blogspot.com pada 1 Februari 2012.